Selasa, 28 Juli 2009

Detoksifikasi Tubuh Sebagai Hikmah Optimalisasi Tidur Di Malam Hari Berdasarkan Tuntunan Sang Maha Pengatur Hidup


Dalam Islam, seorang muslim diajarkan untuk dapat mengoptimalkan waktu dengan bijaksana. Allah SWT telah menciptakan siang untuk bekerja dan malam untuk tidur (istirahat), sebagai tanda-tanda kebesaran-Nya. Hal tersebut difirmankan Allah dalam QS. Ar-Ruum ayat 23. Namun seringkali manusia melakukan kegiatan yang berlawanan, seperti bekerja di malam hari dan tidur di siang hari. Betapapun ingin menggunakan waktu semaksimal mungkin, manusia tidak boleh melupakan kemampuan, tenaga dan waktu yang dimilikinya karena tubuh memerlukan proses untuk memulihkan keseimbangan alami dalam sistem saraf, menguatkan kembali fungsi tubuh, serta menjaga stabilitas mental dan emosional.
Pentingnya manajemen waktu istirahat di malam hari sebenarnya dapat ditelaah berdasarkan ayat-ayat Allah dalam Al-Qur’an dan tuntunan Rasulullah SAW yang diketahui paling sempurna dan sangat bermanfaat bagi tubuh. Hal tersebut dapat dijelaskan dari sisi medis bahwa tidur yang berkualitas di malam hari merupakan upaya optimalisasi dalam detoksifikasi tubuh untuk menetralisir toksin yang mengontaminasi. Tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah untuk mengetahui manajemen tidur di malam hari dalam tuntunan Islam serta mengeksplorasi peranan kualitas tidur di malam hari dalam mekanisme detoktisifikasi tubuh. Karya tulis ini disusun berdasarkan metode studi pustaka dengan mengumpulkan dan menelaah informasi yang berkaitan dengan manajemen tidur di malam hari sesuai tuntunan Islam yang tercantum dalam Al-Quran dan Hadits Rasulullah serta hasil penelitian yang berhubungan dengan tidur malam yang berkualitas dan detoksifikasi tubuh.
Tidur adalah suatu keadaan di bawah sadar di mana orang tersebut dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya. Para ahli membagi tidur menjadi 2 tipe, yaitu tidur gelombang lambat (Non Rapid Eye Movement/NREM) dan tidur dengan gerakan cepat mata (Rapid Eye Movement/REM). Setiap malam, seseorang mengalami dua tipe ini dengan bergantian.
Detoksifikasi tubuh melalui mekanisme detoksifikasi hati terutama fase kedua tarcapai optimal saat tidur. Mekanisme ini berkaitan erat dengan diproduksinya antioksidan sebagai penetral toksin. Jalur mekanisme yang berperan penting dalam produksi antioksidan adalah jalur glutathione conjugation. Glutathione adalah gabungan dari tiga asam amino, yaitu asam glutamat, sistein, dan glisin. Fungsi utamanya ada dua, yaitu menghasilkan bentuk asam mercapturic yang selanjutnya diekskresikan melalui empedu atau urin dan menetralkan oksigen radikal bebas. Jika glutathione digunakan seluruhnya dalam proses konjugasi, maka fungsinya sebagai penetral radikal bebas akan semakin menghilang. Keadaan ini mengakibatkan tubuh kelebihan radikal bebas yang akan menyebabkan kerusakan. Oleh karena itu, jika toksin yang beredar dalam tubuh banyak, dibutuhkan glutathione dalam jumlah yang adekuat untuk menetralkannya.
Optimalisasi tidur diawali produksi hormon melatonin yang meningkat dalam kondisi gelap mempengaruhi aktivitas otak dalam menimbulkan rasa kantuk sebagai sinyal positif tubuh agar segera mengistirahatkannya. Hormon yang mempengaruhi irama sirkadian ini kemudian akan menyesuaikan sehingga terjadi sinkronisasi antara siklus tidur dengan siklus pergantian siang dan malam di lingkungan. Allah SWT telah menjadikan malam gelap dan siang terang benderang, seperti yang disebutkan dalam QS. Al-Mu’min: 61. Tujuannya agar manusia beristirahat di malam hari dan bekerja di siang hari, sejalan dengan pengaturan sekresi hormon melatonin tersebut. Hasil yang efektif tidak akan didapatkan jika keadaan tersebut dibalik karena dalam tidur yang penting bukanlah kuantitas tetapi kualitas. Penelitian terhadap hewan uji juga menunjukkan bahwa gangguan tidur yang terus-menerus dapat menimbulkan kondisi mematikan akibat kerusakan organ dan jaringan. Kerusakan tersebut timbul akibat senyawa biokimia yang merusak, di antaranya stres oksidatif dan radikal bebas yang tidak terkendali. Pada tidur yang berkualitas, detoksifikasi hati dapat berjalan optimal, khususnya dalam pembentukan asam amino glutathione sebagai antioksidan yang menetralisasi stres oksidatif dan radikal bebas tersebut.
Berdasarkan pembahasan dalam karya tulis ini, dapat disimpulkan bahwa dalam tuntunan Islam, manajemen tidur di malam hari dilakukan dengan tidur di awal malam dan bangun di awal sepertiga malam dengan mematikan lampu saat tidur. Tidur yang berkualitas di malam hari melalui manajemen tersebut menjadikan detoksifikasi hati berjalan optimal melalui pembentukan antioksidan yang menetralisasi stress oksidatif dan radikal bebas. Demikian, Islam telah mengatur segala sesuatu dengan sempurna. Apabila umat Islam mengamalkannya secara keseluruhan tentu akan bermanfaat di dunia maupun akhirat.

Artikel ini merupakan ringkasan dari Karya Tulis Ilmiah yang disusun oleh Annisa Budiastuti, Hafriliantika Ramadhani, dan Megawati Dharma Iriani. Karya tulis ini menjadi juara pertama di kelas 3 pada Kompetisi Karya Tulis Al-Quran (KKTA), rangkaian Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) XXII, 2009 di Universitas Brawijaya, Malang.

Jika membutuhkan file selengkapnya bisa hubungi saya dengan mengirim email ke: nisa_imutz@yahoo.co.id

Terima kasih.
Semoga bermanfaat.

Sabtu, 25 April 2009

Ketika Kau Hadir Untukku


Begitu berbunga hatiku

Berbinar bola mataku

Ketika kubuka lembaran baru

Usia remajaku

Terngiang kata teman-temanku

Masa remaja, masa-masa paling indah

Aku ceria, aku gembira

Bulat tekadku

Jalani hari-hari baru

Penuh harap dan impian

Namun apa nyatanya yang kudapat

Sebagai kado ulangtahunku ke-14?

Sebuah berita yang menguji

Seluruh nadi ketabahanku

Aku luluh di hadapan-Mu, Ya Allah

Tak kuasa menahan gejolak jiwa

Aku meronta, berlinang air mata

Sedih, marah, kecewa, putus asa

Mengapa ini semua terjadi padaku?

Lupus datang saat dunia menantiku bersinar

Aku kira semua kini sudah berakhir

Impianku hilang, harapanku musnah

Namun ternyata aku salah

Karena selalu ada mentari pagi

Yang hadir menghangatkan kebekuan hati

Dan mengajariku

Untuk menjadi sahabat terbaik bagimu

Semangat baru kini telah muncul

Aku melangkah pasti

Menapaki masa depanku yang terbentang

Dengan penuh keyakinan

Impianku takkan pernah berhenti bercahaya

Aku memang ditakdirkan hidup bersamamu

Bersahabat denganmu

Karena Allah telah memilihku

Kini, aku akan terus berlari

Mengejar sejuta impianku

dan menyalakan kembali impian semua orang

yang mungkin padam karena kehadiranmu

Tentunya dan selamanya

Bersamamu, sahabatku..

.
(Ini puisi pertama yang aku bacakan di depan orang banyak. Great eksprerience!!)

Bocoran Buat Buku Baruku Nih... (^^)


Insya Allah, tanggal 9 Mei 2009 ini akan launching kumpulan kisah para Odapus. Saya menjadi salah satu penulisnya lho! So, bulan depan pulang lagi deh! (Kesenengan nih...)

Sudah lama saya posting cerita ini ke multiply saya. Memang ini versi yang agak panjang. Kalau dibukukan, gak mungkin sepanjang ini. Bisa-bisa satu buku isinya kisah saya sendiri. Nah, berhubung saya baru membuat blog ini, saya posting sini juga. Itung-itung nambah postingan (Masih sepi sih....Hehe)
Semoga tulisan ini bisa memberikan inspirasi buat siapapun yang membacanya. Amin..

Pagi ini aku tak kuasa bangun dari tempat tidurku. Badanku rasanya panas dingin, sakit seluruh otot dan persendianku, tenagaku pun lenyap entah terbang kemana, rasanya badanku lemas sekali. Kepalaku pun terasa berputar-putar, pening, dan begitu berat. Dadaku sesak, tak bisa bernafas. Kuraba keningku, lagi-lagi aku demam.

Ketika semua teman-temanku berangkat sekolah, aku hanya bisa diam di kamar. Sepi, sendiri. Aku jadi teringat ummi (panggilanku untuk ibu). Kalau ada ummi di sini, pasti rasanya lebih nyaman. Sudah hampir 2 tahun ini aku tinggal di sebuah pondok pesantren di Kuningan. Jauh dari orangtua, sementara sakit menerpa, membuatku semakin tak berdaya. Aku ingat, biasanya setiap kali aku demam ummi akan mengompresku dengan air hangat. Dengan lembut beliau pun akan bertanya apakah perutku sakit dan membuatkan makanan yang kuinginkan. Kalau sekarang ini, mana bisa? Tak terasa butiran hangat mengalir di pipiku. Aku hanya mampu menangis dalam diam dan berdoa mohon kekuatan padaNya.

Semenjak aku di pesantren, ummi, abi, dan ketiga adikku selalu datang berkunjung sebulan sekali. Namun, sudah beberapa bulan ini aku sakit, sehingga ummi harus lebih sering berkunjung untuk melihat kondisiku. Bahkan dalam sebulan kadang harus 3-4 kali bolak-balik Bandung-Kuningan. Ketika ummi datang menjenguk, keadaanku agak mendingan. Namun begitu ummi kembali ke Bandung, aku kembali jatuh sakit. Aduh, kenapa ya aku ini? Apa hanya kangen sama ummi sehingga sifat manjaku jadi keluar? Namun karena kondisiku bertambah parah, akhirnya ummi menjemputku dan membawaku berobat ke Bandung.

Mula-mula dokter anak yang merawatku di Bandung (karena waktu itu umurku baru 13 tahun), mendiagnosisku sakit asma berat. Terapi aku jalani selama lebih dari 6 bulan, namun perubahan tak kunjung kurasakan. Sempat aku kembali menjalani aktivitasku seperti biasa sebagai santri. Namun hanya bertahan beberapa saat, semakin lama penyakitku ini semakin menjadi-jadi, semakin banyak dan berat gangguan yang kurasakan.

Aku ingat hari itu hari ulang tahunku yang ke-14, 13 februari 2004. Aku telah memasuki usia remajaku dengan prestasi yang cukup membanggakan. Harusnya aku merasa bahagia dan gembira menyambut masa remajaku, namun kondisi kesehatanku yang terus merosot membatasi aktivitasku. Di saat teman sebayaku dengan bebas mengekspresikan diri dalam berbagai kegiatan aku lebih banyak terkurung sendirian di kamar dengan rasa sakit yang sulit kugambarkan. Diam-diam ada rasa iri yang menyelinap di relung hatiku setiap kali melihat keceriaan mereka, tapi perasaan itu berusaha aku tepis. Kunikmati saja rasa sakitku dengan berdzikir dan berpasrah diri padaNya.

Rambutku pun mulai rontok sementara gangguan pencernaan, sariawan dan radang tenggorokan yang tak kunjung sembuh membuatku tidak punya selera makan. Hingga akhirnya kondisiku sudah sangat lemah dan ummi membawaku ke Bandung untuk mendapat perawatan yang lebih intensif.

Kali ini ummi membawaku ke dokter internist yang telah merawat ummi beberapa tahun ini, untuk berkonsultasi tentang kondisiku. Sebenarnya beberapa tahun belakangan ini kondisi ummi pun tidak jauh berbeda denganku bahkan gejalanya sangat mirip denganku. Malah ummi sempat beberapa kali harus dirawat di rumah sakit dengan diagnosis yang berbeda-beda. Dari gastritis kronis, radang tenggorokan kronis, tifus, bronkhitis, sampai TBC. Aku sebenarnya merasa bersalah pada ummi karena harus menambah beban pikirannya.

Awalnya dokter mengira aku sakit tifus dan demam berdarah. Akhirnya, kami berdua melakukan pemeriksaan darah lengkap, tetapi dokter tidak menjelaskan dengan pasti apa penyakit kami sebenarnya. Dokter memberi kami beberapa macam obat (ternyata belakangan baru kami ketahui salah satu obatnya adalah kortikosteroid yang biasanya diberikan untuk terapi lupus) yang harus kami minum setiap hari. Aku pun harus bolak balik Kuningan –Bandung setiap 2 minggu sekali untuk kontrol ke dokter. Setelah 3 atau 4 bulan minum obat kondisi kami mulai membaik

Pada kunjungan rutin yang kesekian kalinya ummi bertanya pada dokter sebenarnya apa sakit kami dan berapa lama lagi kami harus minum obat karena biaya pengobatan kami saat itu cukup mahal, tidak kurang 2 juta sebulan. Dokter mengatakan sepertinya ummi sakit Lupus sementara untuk aku diagnosanya belum pasti. Bisa lupus atau mungkin demam rematik. Pengobatan yang harus kami jalani memerlukan waktu yang lama, bisa 3 tahun, 4 tahun bahkan seumur hidup. LUPUS, wah apaan tuh? Seriuskah , berbahayakah, menularkah? Kenapa harus begitu lama pengobatannya? Bisakah disembuhkan? Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak ummi. Waktu itu dokter tidak bisa memberikan penjelasan yang detail mengenai penyakit lupus. Beliau menyarankan ummi untuk mencari sendiri di internet.

Ummi sempat berkonsultasi dengan teman abi yang dokter namun ternyata beliau tidak tahu banyak mengenai lupus begitu pula kakak abi yang seorang dokter di Jakarta tidak bisa menjawab keingintahuan ummi. Akhirnya abi pun berburu informasi di internet dan mendapat informasi yang mengerikan mengenai penyakit lupus. Ummi sempat menyangkal, tidak percaya dengan vonis dokter. Untuk mencari second opinion ada seorang dokter teman abi yang merekomendasikan ummi ke dokter Rachmat Gunadi, seorang dokter pemerhati lupus. Ummi kembali menjalani pemeriksaan darah dan hasilnya memang positif lupus. Mendapati kenyataan itu ummi sempat shock. Berbagai perasaan campur aduk. Sedih, merasa tidak berguna, merasa jadi istri dan ibu yang gagal karena banyak kewajiban yang tidak dapat tertunaikan, merasa bersalah dan jadi beban karena banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk berobat, takut karena info di internet tentang penyakit lupus yang ternyata cukup mengerikan. Ummi juga merasa kecewa, marah (secara ga langsung juga sebenarnya mempertanyakan ketentuan Allah yang seharusnya ga boleh ya..), jadi lebih sensitif dan emosional, merasa terpenjara oleh lupus karena banyak hal dan kegiatan yang dulu bisa dilakukan harus dihentikan secara drastis.

Apalagi ketika sebulan kemudian menghadapi kenyataan bahwa aku yang waktu itu baru 14 tahun, divonis lupus juga. Ummi sempat putus asa , dunia serasa runtuh karena divonis kemungkinan akan selamanya bergelut dengan penyakit yang sampai saat ini belum dapat disembuhkan. Ummi juga bertanya pada dokter yang merawat kami, “Kenapa belum cukup saya saja yang sakit? Kenapa harus nisa juga? Dia anak yang baik,anak yang sholeh, tidak pernah menyusahkan atau menimbulkan masalah, sedang menikmati masa remaja dengan prestasi yang cukup membanggakan. Kenapa harus dia yang dipilih Allah? Saya rela menanggung rasa sakitnya, biarlah saya saja yang menggantikan nisa. Apapun akan saya lakukakn asal nisa bisa sehat.” Namun dengan bijak dokter Rachmat menjawab, “Justru karena nisa anak yang baik itulah maka Allah memilihnya. Karena sesungguhnya Allah sayang padanya dan akan banyak orang yang juga sayang padanya. Allah Maha Tahu bahwa nisa akan mampu menghadapi cobaan ini sementara belum tentu anak lain kuat menghadapinya.”

Ketika itu, ummi tidak langsung memberitahuku bahwa sakit yang kualami selama ini sebenarnya sama dengan penyakitnya. Aku mengerti bagaimana perasaan ummi. Hatinya pasti hancur, tidak rela, merasa bersalah karena faktor kepekaan dari ummilah salah satu penyebab aku sakit. Namun ketika tahu aku tidak disiplin minum obat dan penyakitku menjadi semakin parah, ummi merasa sangat sedih dan bersalah karena tidak bisa mngontrolku dengan baik. Aku juga jadi merasa bersalah karena tidak mau mendengar perkataan ummi. Hal itu terjadi mungkin karena ketidakpahamanku tentang bahayanya penyakitku ini. Akhirnya, pelan-pelan ummi mencoba menjelaskan kepadaku. Ummi membawa beberapa artilkel dari internet tentang Lupus untuk kubaca. Ummi pun menjelaskan pentingnya minum obat secara teratur.

Perasaanku ketika ummi memberitahuku terkena penyakit Lupus awalnya biasa saja karena aku tidak mengerti seberapa berat dan bahayanya penyakit ini. Jangankan mengerti, mendengar pun aku belum pernah. Tapi, setelah membaca seluruh artikel yang ummi bawa, aku sempat shock juga, sedih, bingung memikirkan masa depanku. Mungkinkah aku masih punya kesempatan untuk meraih dan mewujudkan cita-cita dan impian-impianku? Aku pun sempat minder dan malu menjadi odapus sehingga aku tidak ingin teman-teman ataupun tetangga tahu kalau aku seorang odapus. Aku juga sempat kecewa dan marah karena kegiatanku jadi sangat terbatas. Masa remaja yang seharusnya kuisi dengan berbagai kegiatan yang menyenangkan ternyata harus terenggut karena lupus. Sering juga aku merasa iri terhadap teman-teman yang bebas melakukan berbagai kegiatan sementara aku lebih banyak beristirahat karena kalau kecapekan jadi sakit.

Selama lebih dari setahun, aku memang harus berjuang menghadapi segala rasa sakit sendirian tanpa ummi di sisiku. Dan hal itulah yang paling memberatkan hati ummi. Terlebih ketika aku menginjak kelas 3 SMP, dengan serangkaian ujian yang harus aku hadapi. Karena padatnya kegiatan dan kurang istirahat, aku jadi kelelahan dan stress. Padahal, semuanya adalah faktor pencetus Lupus. Aku pun jadi sering sakit. Itu membuat abi harus sering bolak-balik seminggu sekali antara Bandung-Kuningan untuk menjemputku karena pengobatan harus dilakukan di Bandung. Jadi, selama sakit ini aku lebih sering berada di Bandung daripada di Kuningan, sehingga aku lebih sering tidak masuk sekolah daripada sekolah. Namun Subhanallah, Allah Yang Maha Besar selalu memberi kemudahan di balik kesulitan yang aku alami. Aku tidak pernah bermasalah dengan nilai akademisku di sekolah. Bahkan aku lulus dari SMP sebagai juara umum. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah atas segala kemudahan dan karunia yang telah Engkau limpahkan kepadaku.

Akhirnya setelah lulus SMP ummi memindahkanku ke Bandung supaya dekat dengan ummi dan mudah mendapatkan pengobatan. Karena ummi tahu persis bagaimana perasaan, penderitaan dan hari-hari yang harus dijalani sebagai odapus maka Ummi jadi overprotektif padaku. Beliau melarangku melakukan segala hal yang melelahkan dan bisa mencetuskan lupus. Sebenarnya aku kurang nyaman dengan perlakuan ini. Namun aku yakin, apa yang ummi lakukan adalah untuk kebaikanku juga.

Aku menjalani aktivitas baruku sebagai pelajar di sebuah SMA Negeri di kota Bandung. Satu tahun aku lalui dengan kondisi kesehatanku yang naik turun. Setiap pulang sekolah badanku rasanya lelah sekali bahkan sering disertai demam dan rasa sakit di sekujur tubuh. Akupun mudah sekali sakit mulai dari flu, batuk, radang tenggorokan, gangguan pencernaan sampai radang paru atau pneumonia. Belum lagi kalau aku harus mengikuti olahraga di sekolah. Karena musuh utama odapus adalah matahari dan aktifitas fisik yang berlebihan maka keesokan harinya hampir selalu aku tidak bisa bersekolah karena sakit.

Aku mulai beradaptasi dengan lingkungan baruku. Mensosialisasikan pada teman-teman bahwa aku sakit memang tidak mudah, apalagi karena fisikku kelihatannya sehat-sehat saja. Aku juga belum berani menyebutkan nama penyakitku ini. Bukan apa-apa, aku hanya bosan dengan tatapan heran orang-orang yang belum pernah sekalipun mendengar nama penyakit seperti itu. Lebih menyebalkan lagi ada yang malah tertawa dan dengan entengnya berkata, “Aneh, kaya’ nama tokoh cerita aja.” Aku juga merasa kesal ketika mencoba menjelaskan bahwa penyakit Lupus adalah penyakit autoimun, dimana antibodi diproduksi berlebihan dan bekerja salah arah. Belum selesai aku menjelaskan, dia malah berkomentar, “Wah, bagus dong kalau antibodinya banyak, jadi kuat, kan!” Uh, kalau bukan Allah yang memberiku kekuatan, mungkin aku tidak akan sanggup menghadapi semuanya. Apa mungkin karena aku masih remaja sehingga orang-orang, terutama yang lebih tua dariku tidak mudah percaya dengan penjelasanku?

Pernah suatu hari aku harus mengikuti ujian olah raga loncat tinggi. Akupun terjatuh dan kakiku cedera. Dengan entengnya guru olah ragaku mengatakan “ Ah terkilir gitu mah biasa, paling 3 hari juga sembuh”. Ternyata ligamen dan persendiaanku hampir putus dan aku nyaris harus dioperasi kalau terlambat sedikit saja untuk berobat. Hingga 3 dokter ahli yang harus menangani cedera kakiku karena kalau tidak ditangani dengan tepat aku bisa cacat seumur hidup. Dua bulan lamanya aku harus menggunakan kruk, satu bulan lebih aku hampir setiap hari harus bolak balik ke rumah sakit untuk menjalani terapi dan latihan jalan. Tiga bulan lebih kakiku baru pulih dengan menghabiskan biaya jutaan rupiah. Subhanallah, pelajaran yang sangat berharga aku dapatkan dari musibah ini. Betapa besar karunia yang telah Allah limpahkan kepadaku selama ini yang mungkin lupa aku syukuri. Selama ini bisa jalan adalah sesuatu yang kuanggap wajar dan biasa saja Tetapi setelah Allah hampir saja mengambil kemampuanku untuk berjalan baru kusadari betapa besar “harga” sebuah kaki. Apalagi harga penglihatan, pendengaran dan semuanya yang telah Allah anugrahkan dan titipkan kepadaku. Ya Allah ampuni hambaMu ini yang sering kufur akan nikmatMu.

Seperti yang telah kuceritakan sebelumnya bahwa aku dan ummi sempat shock dan depresi begitu divonis lupus, merasa menjadi orang termalang di dunia. Oleh dokter Rachmat kami disarankan menemui Ibu Dian Syarief, ketua Yayasan Syamsi Dhuha. Waktu pertama kali bertemu dengan beliau dalam hati kami berkata “ Ah dia kan sehat-sehat saja, pasti lupusnya belum parah. Ya pantaslah kalau dia masih bisa melakukan banyak hal.” Tetapi ternyata kami salah besar. Setelah kami membaca berbagai artikel tentang Ibu Dian, bagaimana perjuangan beliau yang begitu luar biasa melawan lupus, beberapa kali harus menjalani operasi dan bahkan sudah kehilangan penglihatan beliau. Kami jadi malu dan tersadar betapa kondisi kami jauh lebih baik dibanding Ibu Dian. Sementara dalam kondisi beliau yang seperti itu, beliau selalu memberi dorongan dan semangat serta membantu para Odapus dan tetap bermanfaat untuk banyak orang. Terus terang Ibu Dian adalah inspirator terbesar bagi kami untuk selalu tegar, tetap yakin dan bersemangat dalam berjuang dan bertahan menghadapi lupus.

Kami pun akhirnya belajar untuk menerima, ikhlas, ridho, bahkan menjadi sahabat terbaik bagi lupus. Kami juga mengikuti acara tafakuran yang diadakan Syamsi Dhuha setiap Jum’at pagi. Melalui diskusi dan perenungan yang panjang akhirnya kami berusaha dan sedang berproses untuk mengubah paradigma kami tentang sakit. Bahwa lupus yang ditakdirkan Allah kepada kami berdua tidak lagi kami pandang sebagai musibah yang dihadapi dengan ratapan, kesedihan apalagi keputusaaan. Semua ini sudah menjadi ketentuan Allah dan segala ketetapan Allah pastilah yang terbaik. Kami mencoba untuk saling menguatkan. Ummi tidak pernah menangis di depanku walaupun aku sedang sakit seberat apapun, walaupun hati ummi sangat sedih dan hancur. Dalam setiap sujudnya, dalam setiap doanya ummi selalu menangis menumpahkan segala kegelisahan dan harapannya kepadaNya.Ummi selalu menenangkan dan meyakinkanku untuk selalu optimis, bahwa suatu saat Allah akan menunjukkan jalan kesembuhan untuk kami karena Allah yang menurunkan penyakit, Dia pula yang menciptakan obatnya dan Dialah Sang Maha Penyembuh. Ummi selalu membimbingku untuk berdoa dan berzikir minta kekuatan dan kesembuhan kepada Allah. Bahkan kamipun mengambil hikmah dan pelajaran yang banyak ketika sakit.Ummi mengatakan bahwa justru karena Allah sayang sama aku makanya Allah memberikan penyakit ini sebagai pagar yang melindungiku dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Aku pun mencoba untuk tidak banyak mengeluh ketika sakit, berusaha untuk selalu sabar dan menerima segala ketentuan Allah. Aku tidak mau menambah beban ummi. Kami berusaha saling menghibur ketika sakit karena kami tahu persis apa yang sama-sama kami rasakan. Sehingga hubungan kami sangat dekat, sangat erat, kemana-mana sering berdua seperti sahabat, berbagi suka dan duka. Aku sungguh merasa bersyukur punya ibu yang sangat menyayangi, mencintai, mengerti, memahami, selalu membimbing, mendukung, mendorong, memompa semangatku tak henti-henti. Aku juga bisa curhat dengan beliau dalam hal apapun, mulai dari penyakit, masalah-masalah yang kuhadapi di sekolah maupun tentang teman-temanku.

Kira-kira setahun yang lalu Allah masih mengamanahkan ujian lagi kepada kami. Adik bungsuku, Fitria atau yang biasa kami panggil Dede, yang baru berumur 7 tahun ternyata divonis lupus juga. Memang sejak kecil adikku yang satu ini sakit-sakitan, tubuhnya pun mungil dan ringkih. Berkali-kali harus dirawat di rumah sakit. Bahkan pernah dalam setahun tiga kali harus dirawat. Dan diagnosa terhadap penyakitnya pun tidak jelas. Awalnya sempat didiagnosa asma berat dan harus menjalani terapi selama setahun. Pernah juga didiagnosa TBC paru yang mengharuskannya minum obat setiap hari selama 2 tahun. Pernah juga dirawat karena didiagnosa tifus.Beberapa kali dirawat di rumah sakit karena diduga demam berdarah dengan gejala demam tinggi dan trombosit turun, namun dari pemeriksaan lanjutan tidak ditemukan virus DBD. Terakhir dokter yang merawatnya mengatakan bahwa ada kelainan pada sumsum tulang Fitria yang tidak bisa memproduksi darah dengan sempurna sehingga trombosit, lekosit dan HB nya sering abnormal. Fitria harus menjalani pemeriksaan sumsum tulang belakang untuk mengetahui penyebab pastinya. Tetapi ummi yang sudah mulai curiga akan kemungkinan Fitria menderita lupus juga, menolak pemeriksaan tersebut.

Ummi lebih memilih pemeriksaan darah biasa. Dan ternyata kecurigaan ummi terbukti, Fitria pun menderita lupus. Kali ini kulihat ummi lebih tegar dalam menerima vonis tersebut. Bahkan terlihat kelegaan di wajahnya ketika ternyata kesakitan demi kesakitan yang dialami Fitria selama ini berujung pada vonis lupus. Memang ketika beberapa kali adikku dirawat ummilah yang siang malam selalu mendampinginya. Tubuh mungil adikku berulang kali harus ditusuk jarum untuk pemeriksaan darah, disuntik atau dipasangi jarum infus. Ummi selalu memeluk dan menenangkan adikku setiap kali dia merasa kesakitan. Ummi juga selalu membacakan doa-doa atau melantunkan ayat-ayat Al Qur’an ke telinga adikku. Dalam usia semuda itu dia bisa tenang, tidak menangis atau mengeluh ketika rasa sakit menderanya. Aku dapat merasakan penderitaan yang dialaminya. Dan aku kagum sekali pada adikku. Dalam tubuh mungilnya tersimpan ketabahan yang luar biasa. Dalam tubuh lemahnya kulihat kekuatan yang dahsyat.Ummi pun dengan tabah dan tegar merawatnya, padahal aku tahu saat itu ummi pun sebenarnya sedang dalam kondisi tidak sehat. Tetapi kasih sayang dan rasa cinta beliau yang tulus mengalahkan rasa sakitnya. Sering kulihat wajah ummi basah oleh air mata ketika bersimpuh di hadapan Sang Maha Kuasa. Aku tahu betapa berat ujian yang harus dilalui ummi kali ini. Tetapi keikhlasan dan kepasrahan telah menghiasi wajahnya.

Dokter anak yang merawat Fitria berpendapat Fitria tidak perlu diterapi dengan kortikosteroid mengingat usianya yang masih sangat belia sementara efek samping pengobatan bisa menimbulkan resiko yang cukup besar. Fitria mendapat obat-obatan anti inflamasi yang lebih aman. Selain itu dokter menyarankan untuk lebih mengatur kegiatannya, pola makannya dan menambah dengan vitamin atau suplemen makanan dan nutrisi yang seimbang.

Alhamdulillah, dengan pola hidup sehat, menjaga pola makan dengan nutrisi yang seimbang, selalu berpikir positif, menghindari stress dan lelah yang berlebihan, kini kami bertiga diberi ‘kesembuhan’ oleh Allah SWT, Sang Maha Penyembuh. Memang sembuh bagi seorang Odapus tidak berarti sehat total dan pasti tidak akan kambuh lagi. Sehat di sini disebut remisi, yaitu keadaan di mana Lupus sedang tidak aktif. Kami sangat bersyukur kepada Allah SWT dan seperti diberi ‘nyawa kedua’. Semoga dengan kesehatan yang Allah karuniakan ini kami bisa mengisinya dengan ibadah yang lebih khusyu’, hari-hari penuh dzikir dan syukur. Kami pun ingin sekali bisa bermanfaat bagi banyak orang, terutama bagi sesama Odapus.

Mungkin memang selamanya aku harus hidup dan bersahabat dengan Lupus, namun selama itu pula aku akan tetap berusaha melakukan yang terbaik untuk mewujudkan segala impian dan cita-citaku. Aku pun ingin membantu menyalakan kembali semangat dan impian sahabat-sahabat Odapus yang mungkin sempat padam karena kehadiran Lupus dalam hidupnya.
Kalau boleh kami berpesan kepada seluruh Odapus yang mungkin membaca tulisan ini. Selalu optimis dan semangat menjalani hidup ini. “Keep the spirit high!” begitu kata Ibu Dian. Tetaplah punya harapan dan impian karena lupus bukan akhir segalanya. Masih banyak hal positif yang bisa kita lakukan, masih banyak impian yang bisa kita raih. Bahkan kita bisa menjadi inspirasi untuk banyak orang baik yang sakit maupun sehat bahwa begitu berharganya nikmat sehat yang diberikan Allah yang seringkali kita anggap sepele. Janganlah kita takut mati karena suatu penyakit khususnya penyakit lupus. Karena mati itu suatu kepastian, jangankan yang sakit yang sehat pun pasti bakal mati. Yang terpenting adalah bekal apa yang sudah kita persiapkan sebelum mati dan dalam keadaan bagaimana ketika kita menghadapNya. Dan sakit adalah salah satu cara Allah untuk menunjukkan kasih sayangNya kepada kita karena jika kita ikhlas, ridho, sabar dan tawakal maka sakit menjadi ladang amal dan penggugur dosa-dosa kita.

Jumat, 24 April 2009

Everything Is Not What It Seems


Tertarik sama judul lagu Selena Gomez, saya berfikir untuk menjadikannya sebagai judul posting baru saya ini. Bukan cuma karena kedengeran catchy, tapi juga karena rasanya memang saya baru sadar akan makna dari kata-kata itu.
Flash back ke jaman sibuk-sibuknya bimbel buat menghadapi UAN dan SNMPTN. Terlebih waktu konsultasi sama guru BIP (Bimbingan Informasi Pendidikan) di bimbel Nurul Fikri. "Jurusan apa yang cocok untuk saya?" Hmmm, pertanyaan standar yang ditanyakan hampir seluruh siswa bimbel. Saya pun belum menemukan jawaban itu bahkan setelah menginjak semester 2 kelas XII. Tapi sebuah nasehat dari seorang guru sangat membekas di hati saya:
"Lebih baik mana, sibuk memikirkan jurusan apa yang akan kamu pilih atau sibuk berlatih soal-soal agar nilai kamu cukup untuk memilih jurusan apapun yang kamu mau?"
Ups, you are right Mister!
Tapi dasar saya yang bandel, tetap saja pusing memikirkan itu. Habis bagi saya, kalau belum ada tujuan, belajar jadi tidak semangat. Ada saja alasannya ya...
Saya mendapat dua opsi berbeda dari orangtua:
Teknik Elektro
Kedokteran
Waw, dua pilihan yang tinggi dan gak nyambung satu sama lain. Bukan keputusan yang tepat untuk menjadikan keduanya pilihan di lembar SNMPTN. (Kata orang sih namanya bunuh diri)
Lalu, saya kembali berpikir... (sambil bertindak juga sih)
Akhirnya, saya memilih untuk mengikuti kata ibu saya: Pendidikan Dokter. Mantap, pilihan satu dan pilihan dua Pendidikan Dokter di 2 universitas berbeda (jelas...), di kota bahkan provinsi yang berbeda.
Alhamdulillah, Allah memberi saya kepercayaan untuk lulus SNMPTN pada kesempatan pertama. Walaupun di pilihan kedua, yang berarti saya harus berada ratusan kilometer dari rumah saya, tapi itu merupakan suatu karunia yang luar biasa. Biarpun kata orang saya seharusnya bisa lolos pilihan pertama, tapi saya yakin inilah pilihan yang terbaik untuk saya. Mulai nyambung nih: "Because everything is not what it seems"
Salah satu hal yang tidak saya sadari ketika saya memilih untuk menjadi mahasiswa kedokteran adalah bahwa sebenarnya kemampuan saya bukan di bidang hafalan. Selama SMA, nilai sempurna sering saya dapatkan untuk pelajaran fisika dan matematika, tapi belum pernah sekalipun untuk pelajaran biologi. Awalnya saya pikir, kuliah nanti kan saya hanya tinggal fokus menghafal, jadi ya akan mudah-mudah saja mengganti pola belajar saya selama ini. Kalau SMA kan mata pelajarannya banyak. Ya matematika ada, fisika ada, kimia, sejarah, kewarganegaraan, seni rupa, dan masih banyak lagi. Kalau kuliah fokus sama biologi kedokteran, rumus-rumus dilupakan. It's so simple, isn't it? Ow...ow... Sayangnya: "Everything is not what it seems"
Stress, pusing, bingung, ga jelas, itu yang saya rasakan hampir setiap hari. Bagaimana tidak? Pola belajar saya yang dulu harus segera ditinggalkan. Tidak ada lagi rumus-rumus yang dihafal dalam waktu singkat dan bisa diaplikasikan dalam ratusan soal sekaligus. Semua harus dihafal dan dihafal... Make me so bored.
Saya pikir, cepat atau lambat saya akan mati kutu di sini. Jadi orang paling bodoh seangkatan. Mendapat IP paling kecil atau mengulang semua mata kuliah (Duh, lebay...). Sempat terlintas di pikiran saya bahkan sempat saya ungkapkan pada orangtua untuk pindah jurusan saja. Jelas saja orangtua bingung. Tapi karena tidak tega dengan keluhan yang terkesan amat menderita, beliau memberi saya kesempatan untuk mencoba lagi pada SNMPTN tahun depan.
Tapi seiring berjalannya waktu, lagi-lagi saya harus mengatakan, bahwa “everything is not what it seems”. Memang semua itu bukanlah hal yang mudah. I can’t do anything just with snap of my fingers. Segala sesuatu itu butuh pengorbanan, butuh perjuangan. Tidak muncul dan terjadi tiba-tiba, bahkan sebuah pertunjukkan sulap sekalipun butuh latihan keterampilan sebelumnya.
“Just enjoy the process,” itulah kata-kata yang sering diucapkan guruku ketika aku mengeluh kesulitan dalam belajar. Betul, proses itu akan tetap berjalan. Pilihannya, apakah kita akan menikmatinya atau mengeluhkannya. Tidak ada pengorbanan yang sia-sia, karena kegagalan pun sudah berupa sukses yang tertunda kenikmatannya.
So, when everything is over… semua kelihatan baik-baik saja. Semua yang kita hadapi penuh dengan air mata dan darah pun dapat kita kenang dengan tawa. Yeah, itulah menurut saya makna dari “Everything is not what it seems.”
To my lovely Mom… Terima kasih untuk semua nasehat dan dukungannya. Semoga saya bisa membuktikan bahwa saya bisa menjadi yang terbaik, tidak berarti harus lulus dengan IPK terbaik atau menjadi mendapat pekerjaan dengan gaji paling bagus. Tapi terbaik dari apa yang bisa saya lakukan, sehingga ketika saya sudah sampai pada final dan melihat ke belakang, saya tidak menyesali apapun.
Ibu selalu bilang,
“Jangan menunggu datangnya kebahagiaan untuk mebuatmu tersenyum. Tapi tersenyumlah agar dirimu bahagia…”


Rabu, 22 April 2009

First Step>Start with The New Blog


Alhamdulillah,,,
Satu langkah sudah diciptakan (Walaupun amat sangat terlambat)
Pengen eksis juga nih di dunia maya dengan nge-blog.
Ngiri sama mbak kos sebelah kamar yang dah asyik dengan her orange blog, hmmmm sekarang giliran saya donk!
Blog yang lama kayaknya dah mulai ditinggalkan karena terlalu eksklusif.
So, berpindah ke lain hati sajalah!

Sip!
Semoga jadi awal yang baik.

About Me

Foto saya
Serasa baru kemarin memantapkan hati untuk serius berkecimpung di dunia kedokteran. Yup, dimulai dengan menjadi salahsatu mahasiswa Pendidikan dokter Universitas Sebelas Maret, Surakarta angkatan 2008. Semoga bisa memberikan dedikasi... ^^
 

DiaRy IcHa Copyright © 2008 Green Scrapbook Diary Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez